Hujan
dan Cerita Cinta Aira
Malam
makin meninggi ketika gerimis mulai berisik. Aira baru saja menyelesaikan
tulisannya. Sekedar mengusik penat, ia berdiri dari meja tulisnya menuju
jendela yang berada tepat di samping tempat tidurnya, lalu membuka jendelanya
sedikit. Membiarkan hawa dingin merasuki pori-pori tubuhnya yang mulai penat
akan aktivitasnya seharian. Ia tertegun memandangi setiap titik gerimis yang turun beraturan. Memorinya
terputar menuju masa putih abu-abunya.
Mendung
tengah bergelayut ketika ia telah selesai mengerjakan tugas kelompok di rumah
Sally teman sebangkunya. Narendra menawari untuk mengantarkannya pulang.
“Terimakasih
Ren, aku pulang sendiri saja,” tolak Aira halus.
“Ayolah
aku antar. Lihat mendungnya gelap banget, Kasihan kamu kehujanan nanti. Kalau
naik motor kan lebih cepet, siapa tahu kamu bisa tiba di rumah sebelum hujan.”
Tawar Narendra setengah memaksa.
Yah,
Aira pun akhirnya tak bisa menolak. Sebenarnya, Aira masih sedikit sungkan pada
Narendra karena seminggu yang lalu Aira sudah menolak perasaan Narendara
padanya.
Baru
setengah perjalanan Aira duduk di boncengan Narendra, gerimis kecil mulai
turun.
“Ren,
uda mulai gerimis, kita ga berhenti dulu aja, kasihan kamu,” Aira mengingatkan
Narendra sambil menenggelamkan tubuhnya di balik tubuh besar Narendra.
“Kamu
kehujanan?”
“Aku
sih ga apa-apa, kan tertutup sama tubuh kamu. Kamunya kasian?”
“Aku
ga apa-apa ko, kan aku pakai jaket? Yaudah lanjut aja ya? Pegangan.” Tanpa
menunggu jawaban Aira, Narendra menambah kecepatan motornya supaya sampai lebih
cepat. Karena takut terjatuh, Aira pun melingkarkan tangannya di pinggang
Narendra.
Gerimis
sudah mulai reda ketika mereka sampai di rumah Aira.
“Terimakasih
ya Ren, kamu ga mampir dulu?”
“Terimakasih,
takut hujan lagi. Aku langsung balik aja. Salam buat Bapak sama Ibu ya?
Assalamu’alaikum.” Narendra berpamitan sambil tersenyum
“Wa’alaikumsalam,
hati-hati ya?” Aira menjawab sambil membalas senyum Narendra. Aira melepas
kepergiannya sampai Narendra mebhilang dari pandangannya.
Tetes
air mata menyadarkan Aira dari lamunannya. Ah,
Rendra, aku kangen kamu. Ya, Aira merindukan Narendra, juga masa putih
abu-abunya dulu. Saat-saat manis ketika Narendra masih berusaha mengejar
cintanya. Saat-saat manis yang kini jarang ia rasakan justru ketika mereka kini
telah menjadi sepasang kekasih selama hampir lima tahun. Jarak yang memisahkan
mereka memang sering menjadikan mereka salah paham atas kemauan masing-masing. Tapi
Aira selalu bisa meredam emosinya ketika ia teringat memroinya akan hujan itu,
memori terindahnya bersama Narendra.
![]() |
Sebenarnya,
Aira ingin sekali memulai menghubungi Narendra. Tapi hati kecilnya selalu
menolak. Dalam lubuk hatinya paling dalam ia yakin bahwa Narendra akan kembali
padanya. Entah kapan itu. Sehingga meskipun berulang kali ia telah mengetik
pesan untuk Narendra dan siap mengirimnya, hatinya selalu menolak.
Akhirnya,
ia biarkan hari-harinya berlalu tanpa kehadiran Narendra. Meski tak sepenuhnya
bisa, tapi Aira selalu berusaha ikhlas untuk menjalaninya. Ia tak ingin terlalu
larut dalam kesedihannya. Tapi malam ini, ketika rintik gerimis itu turun lagi,
rasa rindu pada Narendra tiba-tiba menelusup dalam hatinya. Membuat dadanya
terasa sesak. Tanpa ia sadari, air mata itu turun lagi membasahi pipinya tepat
ketika ponselnya berdering. 1 message
received.
Apa kabar?
Sender:
Narendra.
Mata
Aira membelalak tak percaya. Hanya dua kata, tapi mampu membuat hatinya
membuncah bahagia. Air matanya mengalir semakin deras. Setelah dua minggu tak
menghubunginya, Narendra akhirnya menghubunginya lagi. Meskipun ia belum tahu
apakah pesan itu sebagai awal dari akhirnya hubungan mereka atau bukan. Yang
jelas Aira begitu bahagia Narendra menghubunginya. Paling tidak rindunya
terobati. Aira lalu menutup jendela. Membiarkan hujan yang turun semakin deras.
Hujan yang selalu membawa cerita dalam cintanya. Cerita indah masa putih
abu-abunya yang tak akan pernah terlupa. Dan hujan yang kini membawa Narendra
kembali padanya. Entah hanya untuk sekejap sebagai perantara cerita luka. Atau
untuk selamanya hingga bertemu dengan akhir cerita yang bahagia. Tapi
bagaimanapun juga, memorinya tentang hujan itu selalu membuatnya memaafkan
Narendra meski kadang ia tak berniat memaafkan Narendra.
Note:
Cerpen ini pernah diikut sertakan dalam event lomba cerpen salah satu penerbit indie, tetapi tidak lolos seleksi. Daripada mubadzir, mending di post di sini. Hehehehe
Note:
Cerpen ini pernah diikut sertakan dalam event lomba cerpen salah satu penerbit indie, tetapi tidak lolos seleksi. Daripada mubadzir, mending di post di sini. Hehehehe

No comments:
Post a Comment