Tuesday, June 10, 2014

Cerpen: Hujan dan Cerita Cinta Aira



Hujan dan Cerita Cinta Aira


Malam makin meninggi ketika gerimis mulai berisik. Aira baru saja menyelesaikan tulisannya. Sekedar mengusik penat, ia berdiri dari meja tulisnya menuju jendela yang berada tepat di samping tempat tidurnya, lalu membuka jendelanya sedikit. Membiarkan hawa dingin merasuki pori-pori tubuhnya yang mulai penat akan aktivitasnya seharian. Ia tertegun memandangi setiap  titik gerimis yang turun beraturan. Memorinya terputar menuju masa putih abu-abunya.
Mendung tengah bergelayut ketika ia telah selesai mengerjakan tugas kelompok di rumah Sally teman sebangkunya. Narendra menawari untuk mengantarkannya pulang.
“Terimakasih Ren, aku pulang sendiri saja,” tolak Aira halus.
“Ayolah aku antar. Lihat mendungnya gelap banget, Kasihan kamu kehujanan nanti. Kalau naik motor kan lebih cepet, siapa tahu kamu bisa tiba di rumah sebelum hujan.” Tawar Narendra setengah memaksa.
Yah, Aira pun akhirnya tak bisa menolak. Sebenarnya, Aira masih sedikit sungkan pada Narendra karena seminggu yang lalu Aira sudah menolak perasaan Narendara padanya.
Baru setengah perjalanan Aira duduk di boncengan Narendra, gerimis kecil mulai turun.
“Ren, uda mulai gerimis, kita ga berhenti dulu aja, kasihan kamu,” Aira mengingatkan Narendra sambil menenggelamkan tubuhnya di balik tubuh besar Narendra.
“Kamu kehujanan?”
“Aku sih ga apa-apa, kan tertutup sama tubuh kamu. Kamunya kasian?”
“Aku ga apa-apa ko, kan aku pakai jaket? Yaudah lanjut aja ya? Pegangan.” Tanpa menunggu jawaban Aira, Narendra menambah kecepatan motornya supaya sampai lebih cepat. Karena takut terjatuh, Aira pun melingkarkan tangannya di pinggang Narendra.
Gerimis sudah mulai reda ketika mereka sampai di rumah Aira.
“Terimakasih ya Ren, kamu ga mampir dulu?”
“Terimakasih, takut hujan lagi. Aku langsung balik aja. Salam buat Bapak sama Ibu ya? Assalamu’alaikum.” Narendra berpamitan sambil tersenyum
“Wa’alaikumsalam, hati-hati ya?” Aira menjawab sambil membalas senyum Narendra. Aira melepas kepergiannya sampai Narendra mebhilang dari pandangannya.

Tetes air mata menyadarkan Aira dari lamunannya. Ah, Rendra, aku kangen kamu. Ya, Aira merindukan Narendra, juga masa putih abu-abunya dulu. Saat-saat manis ketika Narendra masih berusaha mengejar cintanya. Saat-saat manis yang kini  jarang ia rasakan justru ketika mereka kini telah menjadi sepasang kekasih selama hampir lima tahun. Jarak yang memisahkan mereka memang sering menjadikan mereka salah paham atas kemauan masing-masing. Tapi Aira selalu bisa meredam emosinya ketika ia teringat memroinya akan hujan itu, memori terindahnya bersama Narendra.


Kini, kesalahpahaman itu terulang dua minggu yang lalu. Waktu itu ada kesalahpahaman yang akhirnya membuat Narendra menyatakannya keinginannya untuk memilih sendiri. Tanpa penjelasan lebih lanjut apakah itu artinya ia memutuskan Aira atau tidak. Dia hanya berkata akan membicarakannya kalau betemu. Saat itu mereka sempat bertemu di rumah Aira. Tapi hanya sebentar, sekedar mengembalikan barang yang dipinjam oleh Narendra. Tanpa mengucap apapun, Narendra pamit. Setelah itu, ia menghilang dan sama sekali tak menghubungi Aira.

Sebenarnya, Aira ingin sekali memulai menghubungi Narendra. Tapi hati kecilnya selalu menolak. Dalam lubuk hatinya paling dalam ia yakin bahwa Narendra akan kembali padanya. Entah kapan itu. Sehingga meskipun berulang kali ia telah mengetik pesan untuk Narendra dan siap mengirimnya, hatinya selalu menolak.

Akhirnya, ia biarkan hari-harinya berlalu tanpa kehadiran Narendra. Meski tak sepenuhnya bisa, tapi Aira selalu berusaha ikhlas untuk menjalaninya. Ia tak ingin terlalu larut dalam kesedihannya. Tapi malam ini, ketika rintik gerimis itu turun lagi, rasa rindu pada Narendra tiba-tiba menelusup dalam hatinya. Membuat dadanya terasa sesak. Tanpa ia sadari, air mata itu turun lagi membasahi pipinya tepat ketika ponselnya berdering. 1 message received.

Apa kabar?
Sender: Narendra.
Mata Aira membelalak tak percaya. Hanya dua kata, tapi mampu membuat hatinya membuncah bahagia. Air matanya mengalir semakin deras. Setelah dua minggu tak menghubunginya, Narendra akhirnya menghubunginya lagi. Meskipun ia belum tahu apakah pesan itu sebagai awal dari akhirnya hubungan mereka atau bukan. Yang jelas Aira begitu bahagia Narendra menghubunginya. Paling tidak rindunya terobati. Aira lalu menutup jendela. Membiarkan hujan yang turun semakin deras. Hujan yang selalu membawa cerita dalam cintanya. Cerita indah masa putih abu-abunya yang tak akan pernah terlupa. Dan hujan yang kini membawa Narendra kembali padanya. Entah hanya untuk sekejap sebagai perantara cerita luka. Atau untuk selamanya hingga bertemu dengan akhir cerita yang bahagia. Tapi bagaimanapun juga, memorinya tentang hujan itu selalu membuatnya memaafkan Narendra meski kadang ia tak berniat memaafkan Narendra.


Note:
Cerpen ini pernah diikut sertakan dalam event lomba cerpen salah satu penerbit indie, tetapi tidak lolos seleksi. Daripada mubadzir, mending di post di sini. Hehehehe

No comments:

Post a Comment